LATAR BELAKANG PEMBERONTAKAN PKI DI INDONESIA
A.
Lahirnya
PKI di Indonesia
Sebagaimana ditunjukkan oleh Takashi Shiraishi, berbeda
dengan generasi pendahulu yang penekanan ketokohan individu, generasi Soekarno
menegakkan kepartaian. Tetapi pada 1920-an, partai-partai itu mengalami
pertentangan internal yang dimata Soekarno akibatnya bisa fatal bagi gerakan
menuju kemerdekaan. Pada 1920, misalnya, terjadi pertentangan pada tubuh
Serikat Islam, terutama antara apa yang disebut sebagai “Si Putih” dengan
lawannya “Si Merah”. Pertentangan ini kemudian mendorong lahirnya Partai
Komunis Indonesia (PKI). (Menggugat G30S/PKI hal 66)
Pada tahun 1923 gerakan nasionalisme mengalami kemandegan
total, ditandai dengan debubarkannya Natoinal-Indische Partij (NIP) pada tubuh
itu, dan suburnya gerakan-gerakan yang lebih bercorak Internasional, khususnya
gerakan Islam dan Komunis.
B.
Peristiwa
30 September 1965
Peristiwa 30 September 1965 merupakan suatu peristiwa
politik. Gerakan 30 September sering disingkat Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh) atau G30S/PKI. Peristiwa G30S/PKI berpuncak pada tanggal 30 September
malam hingga 1 Oktober 1965 pagi, merupakan tindak kekerasan yang merenggut
nyawa dan pengambilalihan kekuasaan pemerintahan negara dengan cara yang bertentangan
dengan hokum. Sehingga aksi-aksi di dalamnya merupkan tindak kejahatan terhadap
keamanan negara. Dari hal itulah maka peristiwa 30 September 1965 ini terlihat
sangat menonjol disamping berbagai
aspek-aspek lainnya.
G30S/PKI adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada
tanggal 30 September 1965 dimana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut
sebagai usaha Kudeta yang dituduh kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Sejarah Indonesia pada tahun 1965-1967 memang sangat rumit. Situasi social
politik dalam kurun waktu terebut sangat kompleks dan membingungkan.
Peristiwa-peristiwa terjadi silih berganti, dan masing-masing bisa terjadi
sangat berpengaruh terhadap babap peristiwa berikutnya. Satu ideology ditumpas,
dan ideology yang lain Berjaya.
C.
Latar
Belakang Pemberontakan PKI di Indonesia
Pada bula Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Soekarno
menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Konstitusi ini mendapat
dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan
mengangkat para Jendral Militer ke posisi-posisi yang penting. Soekarno
menjalankan system “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin”
Soekarno dengan hangat dan anggapan bahwa ia mempunyai mandat untuk persekutuan
konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama, dan Komunis yang dinamakan Nasakom.
Pada
dasarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak menyetujui system pemerintahan
Indonesia yang cenderung berkiblat kepada Amerika Serikat (Kapitalis). Pada
pancasila sila pertama disebutkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, namun
sebenarnya PKI tersebut ingin menguasai Indonesia dalam arti ingin
mengkomuniskan bangsa Indonesia. PKI juga menginginkan Indonesia menganut
siatem pemerintahan yang anti Tuhan.
Awal tahun1951
D.N. Aidit merehabiliasi Mohammad Jusuf (orang yang pernah dikutuk oleh
orang-orang komunis kerena tindak penyelewengan garis partai dengan melawan
pemerintah RI di Bogor pada tahun 1956). Kemudin pada bulan Agustus 1951 PKI
menggerakan kerusuhan-kerusuhan di kota Jakarta dan Bogor. Di Bogor banyak
penduduk yang menjadi korban. Sehingga Kabinet Sukiman melakukan penangkapan
dan penggeledahan di rumah-rumah para pemimpin PKI. Oleh PKI peristiwa
penangkapan dan penggeledahan ini disebut “Razia Agustus 1951” dan dianggap
sebagai provokasi pemerintah Sukiman dalam mencari alasan untuk membubarkan
PKI. Akibat tindakan pemerintah itu, sejumlah besar pimpinan PKI menjadi
tahanan politik dan sebagin kecil melarikan diri. Dalam operasi penangkapan itu
ternyata D.N. Aidit berhasil lolos dan melarikan diri ke Moskow, sedangkan PKI
melaksanakan gerakan bawah tanah.
Tahun 1953 D.N. Aidit kembali ke Indonesia dari Moskow. Ia
muncul dengan konsep baruyang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi
Indonesia”. Melalui konsep tersebutlah D.N. Aidit sekaigus menegaskan jalan
revolusioner di samping cara-cara perlementer. Dengan berdasarkan
Masxisme-Leinisme dan analisis mengenal situasi Indonesian sendiri, CC PKI di
bawah pimpinan D.N. Aidit menyusun program partai untuk mencapai tujuannya,
yaitu mengkomuniskan Indonesia. Adapun isi program tersebut adalah sebagai
berikut :
A. Membina
persatuan nasional yang berdasarkan persatuan buruh dan kaum tani.
B. Membangun
PKI yang meluas di seluruh negara dan mempunyau karakter massa yang luas yang
sepenuhnya terkonsilidasi di lapangan ideology, politik, dan organisasi.
PKI teryata sudah terbukti bahwa ia
merupakan dalang dan pelaku dari aksi subversi sejak tahun 1954, yang berpuncak
pada Kudeta berdarah awal bulan Oktober 1965 tersebut. Mahkamah Militer Luar
Biasa mengadakan serangkaian sidang untuk mengadili mereka yang terlinat dalam
Kudeta. Pengngkapan peranan PKI dalam sidang mahkamah tersebut menimbulkan
reaksi yang sangat hebat dalam masyarakat Indonesia. Peristiwa ini berujung
dengan ditetepkannya ketetapan MPR 5 Juli 1966 tentang pembubaran Partai
Komunis Indonesia.
AKSI SEPIHAK PKI DI INDONESIA
A.
Aksi
Sepihak BTI (Barisan Tani Indonesia)
Di akhir 1964 dan prmulaan 1965
ratusan ribu partai bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar.
Bentrokan-betrokan besar terjadi antara mereka, polisi, dan para pemilik tanah.
Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI menghimbau semua
pendukungnya untuk mencega pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para
pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsure-unsur lain,
termasuk angkatan bersenjata.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu
oleh Propaganda PKI yang menyatakan bahwa PKI berhak atas setiap tanah, tidak
peduli itu semua tanah siapa pun. Karena pada dasarnya mereka beranggapan bahwa
“Milik Negara=Miik Bersama”. Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di
Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita tanah milik Tsar dan
membagi-bagikan kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh
mulai menyita perusahaan raket dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab
ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jendral-jendral tersebut masuk cabinet karena jabatannya di militer leh
Soekarno disamakan dengan setingkat menteri. Hal ini dapat dibuktakan dengan
nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain). (Buku
Pintar Poliik. 2009: 33)
Peristiwa
yang paling menonjol antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatra Utara dan
peristiwa di Klaten yang desebut sebagai ‘Aksi Sepihak’ dan kemudian digunakan
sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya. Sementara itu di Jawa Timur
juga terjadi keributan antara PKI dan NU. Kyai-kyai yang kebanyakan tuan tanah
dengan tegas menolak gerakan PKI untuk membagi-bagikan tanah kepada petani yang
tidak memiliki tanah.
Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tetapi juga dengan Persis
dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi hampir semua tempat di Indonesia,
di Jawa Timur, dan dan di provinsioprovinsi lain juga terjadi hal demikian PKI
di beberapa tempat bahkan sudah menganam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih
setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI
mengetahui rencana Kudeta 30 September tersebut). (Buku Pintar Politik. 2009:
35)
B.
Aksi
G30S/PKI di Tingkat Pusat
PKI melaksanakan tindakan peningkatan situasi ofensif
revolusioner, tahun 1964-1965. Setelah penupasan kader-kader PKI ke dalam tubuh
aparatur negara, termasuk ABRI, organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatan sudah mencapai taraf yang oleh PKI dinilai cukup kuat, sehingga
PKI segera melaksanakan kegiatan yang mereka sebut sebagai tahap ofensif
revolusioner, hal terebut meliputi :
A.
Sabotase, Aksi Sepihak
PKI dan Aksi Teror
Upaya PKI untuk menciptakan suasana
revolusioner atau bentrokan, selain dilakukan melalui kegiatn-kegiatan politik
yang menghebat, juga melalui kegiatan-kegiatan sabotase, aksi sepihak dan
terror sehingga rakyat dan pemerintah merasa tidak aman. Kegoatan tersebut
misalnya kegiatan sabotase terhadap transportasi umum Kereta Api oleh Serikat
Buruh Kereta Api. Tindakan sabotase yang dilakukan oleh PKI ini sebenarnya
sudah cukup lama dilakukan oleh kaum komunis, tetapi semua ini mulai terlihat
pada bulan Januari 1964. Kejadian sabotase ini mulai terlihat karena pada waktu itu ada serangkaian kereta
api rute daerah selatan melanggar sinyal dan langsung masuk ke stasiun
Purwokerto, Jawa Tengah. Sehingga rangkaian kereta api yang melanggar sinyal
tadi akhirnya menabrak rangkaian gerbong yang berhenti di stasiun tersebut.
Kejadian sabotase serupa juga
terjadi di Kallyasa, Sala, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1964, tanggal 30
April 1964 di Kroya, Jawa Tengah, kemudian pada tanggal 14 Mei 1964 di Cirebon
dan Semarang, serta tanggal 6 Juli 1964 terjadi di Cipapar Jawa Barat. (Rum
Aly. 2006: 319)
Setelah
beberapa aksi tersebut terjadi, aparat keamanan juga sempat mencurigai adanya
rentetan kejadian yang menimbulkan tanda Tanya besar. Oleh sebab itu aparat
keamanan menunjukkan bahwa kasus-kasus yang terjadi merupakan tindak
kesengajaan (sabotase) yang bertendensi politik. Para pelakunya adalah anggota
Serikat Buruh Kereta Api (BSKA) yang merupakan organisasi yang berada di bawah
naungan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
A.
Perseteruan Angkatan
Darat dengan PKI.
Anggota
PKI tumbuh pesat, dan jaringan internasionalnya semakin menguat. Sementara itu
di dalam negeri, muncul berbagai ketidakpuasan akibat kesejahteraan rakyat yang
terbengkalai. Perekonomian yang terus merosot dan pertarungan laten antara
Angkatan Drat bersama kelompok-kelomok pendukungnya melawan PKI dan kaum
Soekarnois membuat iklim politik berubah cepat. Ditambah lagi dengan keadaan
memburuknya kesehatan Bung Karno, yang memunculkan analisis ekstrim bahwa
presiden sedang menghadapi dua nasib yang sama-sama buruk, yaitu meninggal
ataukah lumpuh.
Perseteruan antara Angkatan Darat
dan PKI memang sangat panas pada tahun 1965. Isu Dewan Jenderal berhembus untuk
meyakinkan masyarakat bahwa Jenderal-Jenderal AD sedang menyusun rencana Kudeta
menggulingkan presiden Soekarno yang mereka cintai. Isu dokumen Gilchrist, yang
disebarluaskan oleh Dr. Soebandrio, membuat suasana semakin panas. Dokimen itu
menyebut-nyebut keterlibatan AD dalam rencana Kudeta perebutan kekuasaan. (A. Pambudi. 2006: 188-189).
Sementara
itu, PKI mengadakan show of force pada ulang tahunnya ke-45 di Senayan, bulan
Mei 1965. Perayaan tersebut memang meriah sekali. Mereka memajang poster
raksasa tokoh-tokoh komunis nasional. Di sisi lain, perwira-perwira tinggi AD
pada bulan Mei 1965 juga mengadakan konsilidasi untuk menghadapi bahaya dari
utara. Semakin gencarnya kampanye Bung Karno mengenai poros Jakarta-Peking.
Klimaks dari semuanya adalah Gerakan
30 Septaber. Factor-faktor ketegangan di atas, perseteruan yang kian meruncing
antara Angkatan Darat dan Komunis, meledak menjadi suatu tregedi. Pada dini
hari 1 Oktober 1965, gerombolan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September
menculik dan membunuh para pemimpin teras Angkatan Darat. Peta politik nasional
pun langsung berubah, muncul kekuatan politik yang baru yang berpusat di
Kostrad, komunis dibantai, dan pudarlah Hegemoni Soekarno. (A. Pamabudi. 2006: 192).
A.
Dimensi
Politik Peristiwa 30 September 1965
Aksi dan tindak
kekerasan dalam rangkaian peristiwa 30 September 1965 tidak sulit untuk
dibuktikan. Ada serangkaian peristiwa nyata, yakni enam jenderal teras Angkatan
Darat bersama seorang perwira pertama ajudan dari Jenderal Abdul Haris
Nasution, tambah terbunuhnya seorang Bintara Polisi pengawal Wakil Perdana
Menteri II dr. Leimena. Selain itu, di Yogyakarta dua Perwira menengah
mengalami hal yang serupa. Senbenarnya setelah terjadi penculikan dan juga ada
penculikan, sejenak terjadi pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemerintahan
yang sah, tetapi di sini tidak ada pernyataan pengambilalihan atau penghapusan
kekuasaan presiden.
Dalam Dekrit No. 1 tentang
pembentukan Dewan revolusi Indonesia dinyatan untuk sementara waktu menjelang
pemilihan umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, “Dewan Revolusi Indonesia
menjadi sumber dari pada segala kekuasaan dalam negeri Republik Indonesia”.
Kebinet Dwikora didemisionerkan, sementara kedudukan Presiden Soekarno tidak
dijelaskan. Namun dengan menyatakan bahwa Dewan Revolusi Indonesia menjadi
“sumber dari segaa kekuasaan” dalam negeri Republik Indonesia, berarti presiden
pun telah dihilangkan kekuasaannya, diambi oleh dewan Revolusi. (Rum Aly. 2006:
xxviii)
Akan tetapi, diluar aspek hokum, ada
tidaknya penggulingan kekuasaan, siapa melakukan apa, dan bagaimana kadar
kesalahan yang terjadi dalam rangkaian peristiwa 30 September 1965, sebenarnya
merupakan persoalan yang membuka perdebatan, antara pihak satu dengan pihak
yang lain, kerena sangat dominan aspek pilotik dalam peristiwa tersebut.
A.
Eksaminasi Politik
Peristiwa 30 September 1965
Puncak dari pertarungan
politik di Indonesia kususnya pada tahun 1959-1965 adalah peristiwa 30
September 1965 suhu politik semakin memanas diwarnai dengan bakar membakar
emosi, dan provokasi sulit berganti.mereka yang bertarung terjebak pada pilihan
“mendahului dan didahului”. yang didahului ternyata terperosok, dan yang
didahului pun roboh, ternyata Soekarno pun terlindas di tengah persilangan
karna gagal meneruskan permainan keseimbangan kekuasaan.
Suharto muncul dari balik tabir
blessing in disguise, mengambil peran penting dengan segala tekateki yang untuk
sebagian belum terpecahkan hingga kini. Dan akhirnya,berkuasa. (Rum Aly. 2006:
313)
B.
Pembubaran
PKI di Indonesia
Berdasarkan wewenang yang bersumber
pada surat perintah 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden
menetapkan pembuaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk
semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta
semua organisasi yang berlindung/ bernaung di bawahnya. Keputusan tersebut
dituangkan ke dalam Keputusan Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris
MPRS/ Pemimpin Besar Revolusi No. 1/ 3/ 1966 tanggal 12 Maret 1966 dan
merupakan tindak pertama Letnan Jederal Soeharto sebagai pengemban Surat
Perintah 11 Maret atau SUPERSEMAR. (30 Tahun Indonesia Merdeka. 1986 : 93).
Keputusan pembubaran dan pelarangan PKI
itu diambil oleh pengemban SUPERSEMAR berdasarkan pertimbangan bahwa PKI telah
nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Bukan itu saja, tetapi
telah dua kali melakukan pengkhianatan terhadap negara dan rakyat Indonesia
yang sedang berjuang.
Seluruh rakyat Indonesia yang yang
menjunjung tinggi landasan falsafah dan ideology Pancasila waktu itu serentak
menuntut dibubaran PKI. Karenanya keputusan pembubaran PKI itu telah disambut
dengan gegap gempita dan perasaan lega oleh seluruh rakyat Indonesia. Sementara
itu dengan semakin tersingkapnya keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September,
kemarahan rakyat kepada PKI kian memuncak. Demonstrasi menuntut pembubara PKI
dan ormas-ormasnya serta diadilinya tokoh-tokoh PKI dilancarkan secara terus
menerus oleh rakyat. Rumah-rumah tokoh PKI dan aktor-aktornya menjadi
penghancuran sasaran rakyat. Konflik fisik antara masa rakyat yang setia kepada
Pancasila dengan pendukung-pendukungnya PKI sudah tidak dapat lagi dihindarkan
dan terjadi di mana-mana, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.
A. Kebijaksanaan
Penertiban/ Pembersihan Personalia Sipil/ Militer dari Unsur-Unsur G30S/PKI
Dengan instruksi
Presidium Kabinet No. 48/ D/ Instr/ 1965 tanggal 20 Oktober 1965 kepada Menteri
Koordinator Kompartemen dan Menteri yang membawahkan, mengurus dan menguasai
perusahaan-perusahaan, unit-unit produksi/ distribusi, proyek-proyek serta
unit-unit yang vital diinteruksikan untuk memberhentikan oknum-oknum yang
terlibat dalam G30S, serta membekukan untuk sementara ormas-ormas yang terlibat
atau ada petunjuk terlibat dalam gerakan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
2009. Buku Pintar Politik, Yogyakarta: Redaksi
Great.
Aly, Rum. 2006. Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966,
Jakarta: Kata Hasta Pustaka .
Pambudi,A. 2006.
Supersemar Palsu. Tangerang: Media
Pressindo.
1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka.
Wardaya SJ,
Dr.Baskara T. 2007. Bung Karno Menggugat
G30S. Yogyakarta: Galang.
Suparman H.
2006. Sebuah Catatan Tragedi 1965.
Bandung: Nuansa.