BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dalam masyarakat Indonesia definisi sastra masih
sangat abstark. Sehingga pengertiannya pun terkadang masih terlihat bias.
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta su- berarti baik, indah. Sedangkan sastra berati lukisan, karangan. Ketika
kita membicarakan sastra yang terlintas dalam benak kita adalah bahasa yang
indah. Jadi kesusastraan berarti tulisan atau karangan yang mengandung
nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.
Dalam ranah sastra, teori merupakan pernyataan
mengenai sebab-akibat atau adanya hubungan positif antara fenomena yang
diteliti dalam masyarakat atau dalam teks-teks sastra tulis maupun lisan. Oleh
karena itu, dalam sebuah penelitian dibutuhkan sebuah pemahaman akan teori yang
dijadikan landasan dalam mengkaji objek penelitian. Maka dari itu kami disini
mencoba menjabarkan sedikit tentang Teori Penelitian Sastra-Hermenautik.
B.
RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimana
definisi hermenautik dan sejarahnya?
b. Bagaimana
teori hermanautik dalam karya sastra?
c. Bagaimana
pandangan Lefevere tentang hermenautik dalam interpretasi sastra?
C.
TUJUAN
PEMBAHASAN
a. Mengetahui
definisi dan sejarah hermanautik.
b. Mengetahui
teori dan konsep yang ada dalam hermanautik karya sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
HERMENAUTIK dan SEJARAHNYA
Hermeneutics, berasal dari kata dalam bahasa Yunani
hermeneuine dan hermenia yang berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.
Persoalannya, kata latin hermeneutica belum muncul sampai abad ke-17, namun
baru muncul pertama kali saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborgbernama johann Konrad Danhauer
(1603-1666) dalam bukunya yang berjudul: Hermeneutica
sacra,Sive methodus Eksponendarums Sacrarum Litterarum, yang menilai bahwa
hermeneutika adalah syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang
mendasarkan keabsahannya pada interpretasiteks-teks. Ia secara terbuka
mendeskripsikan inspirasinya dari Risalah Peri hermeneias (deinterpretations)
Aristoteles, yang mengklaim bahwa ilmu interpretasi yang baru berlaku tidak
lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian. Istilah hermeneutika pada
masa ini mengandung dua pengertian, yaitu: Pertama,
hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan sebagai
penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari
kegiatan memahami. Kedua, pemahaman
psikologis terhadap pengarang. Berpijak dari keduanya, hermeneutika menjadi
sebuah intuitive understanding, yang bertugas untuk merekonstruksi pikiran
pengarang. Sehingga pemahaman hanya dapat diperoleh tidak hanya dari pemahaman
kesejarahan dan budaya pengarang saja, namun lebih dari itu harus melibatkan
subjektivitas pengarang.
Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang
dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh (Eagleton, 1983: 66). Dalam
perkembangan hermeneutika, berbagai pandangan terutama datang dari para filsuf
yang menaruh perhatian pada soal hermeneutika. Hermeneutik dapat didefinisikan
secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat interpretasi makna. Baru-baru
ini hermeneutika telah muncul sebagai topik utama dalam filsafat ilmu sosial,
filsafat seni dan bahasa, dan dalam kritik sastra. Akhir-akhir ini hermeneutika
semakin digandrungi oleh para peneliti akademis, kritikus sastra, sosiolog,
sejarawan, antropolog, filosof, maupun teolog, khususnya untuk mengkaji,
memahami, dan menafsirkan teks (scripture), Memasuki abad ke-20, kajian
hermeneutika semakin berkembang. Schleiermacher, filusuf yang kelak digelari Bapak
hermeneutik modern, memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang
sastra dan kitab suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi,
hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua
kalangan.
Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis.
Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud
(Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak
terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’,
semacam lingkaran atau proses tak berujung-pangkal antara teks,
praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian
pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai
sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak
melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan
dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap
jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan
ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan
membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang
melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika
harus bisa mengungkapkan sebagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik
bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna
secara sistematis.
B.
TEORI
HERMANAUTIK DALAM KARYA SASTRA
Penafsir sangat urgen dan fital sekali karena kalau
terjadi kesalahan pemehaman tentang pesan-pesan tersebut akibatnya akan fatal
bagi manusia. Penafsir harus mampu menginterpretasikan atau mendaur sebuah
pesan kedalam bahasa yang digunakan oleh penuturnya. Kalau diasosiasikan secara
sekilas hermeneutik, menunjukan akhirnya pada tiga unsur yang akhirnya menjadi pembukaan
utama pada kegiatan manusia dalam memahami dan membuat interpretasi terhadap
berbagai hal yakni:
1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi
sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan-pesan.
2.
Perantara atau penafsir.
3.
Penyampaian pesan itu oleh sang
perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Hermenetik
menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang
diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenautik
cocok untuk membaca karya sastra karena dalam Kajian sastra, apa pun bentuknya,
karena berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran).
Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut
paut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan
kajian sastra–terutama dalam prosesnya pasti melibatkan peranan konsep
hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang tidak mungkin
diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara
komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini,
mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada
suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu
“menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, penafsir
harus memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam.
Berhasil tidaknya penafsir untuk
mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan
ketajaman penafsir itu sendiri. Metode
pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki penafsir.
Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya
sastra, metode pemahaman hermeneutik dapat dipandang sebagai metode yang paling
memadai.
Pendekatan
hermeneutik merupakan suatu cara untuk memahami agama (teks kitab suci).
Pendekatan ini dianggap tepat dalam memahami karya sastra dengan pertimbangan
bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra.
Pada tahap tertentu teks agama sama dengan teks karya sastra. Perbedaannya,
agama merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi,
agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama
adalah firman tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai
hasil ciptaan subjek ilahi maupun subjek creator, agama dan sastra perlu di
intrpretasikan/ditafsirkan, sebab disatu pihak seperti disebutkan diatas, kedua
genre terdiri atas bahasa. Di pihak lain, keyakinan dan imajinasi tidak bias
dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan. Pendekatan hermeneutic tidak mencari
makna yang benar, melainkan mencari makna yang optimal. Dalam
menginterpretasikannya, untuk menghindari keterbatasan proses interpretasi,
peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas, pada umumnya dilakukan dengan
gerak spiral. Penafsiran terjadi karena setiap objek memanang setiap horizon
dan paradigm yang berbeda. Pluralitas presfektif dalam memberi interpretasi
pada gilirannya memberikan kekayaan makna dalam suatu karya sastra, menambah
kualitas estetika, etika dan logika.
Agar
lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan
di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian sebagai
berikut:
1. Mula-mula
teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek
atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.
2. Selanjutnya,
karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi
strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.
3. Pada
tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi.
Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.
4. Kode-kode
simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat
referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan
dengannya.
5. Kode
simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar
dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.
6. Menurut
Paul Ricoeur Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks yang pada Akhirnya,
ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak
bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling
luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya),
tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks.
Kelebihan
teori ini ialah memberikan interpretasi yang terhadap kajian dalam teks sastra
secara terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak
pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa
terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi
teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi,
melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek
sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena
itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas
kehidupannya sendiri menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut
kepadanya.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara
etimologis hermenautik menunjuk kepada tujuan, prinsip dan kreteria dari
praktek tersebut, dengan ucapan lain hermeneutik adalah seni interpretasi yang
dapat berfungsi sebagai teori interpretasi , kajian filosofis dan berposisi
sebagai kritik. Hermenautik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam
Kajian sastra, apa pun bentuknya, karena berkaitan dengan suatu aktivitas yakni
interpretasi (penafsiran). Interpretasi
terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian,
setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus.
B. KRITIK DAN SARAN
Penulis
menyadari akan kekurangan makalah ini, maka penulis mengharap dengan sangat
kritik dan saran dari pembaca untu kebaikan dan pengembangan makalah ini dengan
baik untuk kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
(Diakses pada tanggal 24 Mei
2013)
(Diakses
pada tanggal 22 Mei 2013)
(Diakses
pada tanggal 22 Mei 2013)
(Diakses
pada tanggal 23 Mei 2013)
(Diakses
pada tanggal 23 Mei 2013)